Saat kelas dua SMA, dan sedang ada di tahap belajar menyesuaikan
diri dengan selera anak-anak kota, saya pernah memutar ‘Bohemian
Raphsody’-nya Queen di rumah. Emak saya marah besar, dan menghardik:
“lagune wong edan!” Di waktu yang lebih awal, Najik, seorang bocah kaya
di desa saya, sering memutar keras-keras lagu-lagu Scorpion dari
rumahnya. Bocah-bocah yang mencuri dengar lagu-lagu itu biasanya akan
menirukannya—tentu dengan pengucapan yang salah—sambil tertawa-tawa,
karena lirik Inggrisnya yang asing dan terdengar lucu.
Pandes, seseorang
lain yang menggilai rock ‘80an macam Metalica dan Halloween, dikenal
karena suka menggambari tembok-tembok di sekitar rumahnya dengan
nama-nama band rock yang berleter rumit dan sangar itu. Ia boleh jadi
dianggap pemula bagi “seni” grafiti kecil-kecilan di kampung kami, tapi
seingat saya selera musiknya tetap terlalu nyentrik untuk diikuti.
Hal yang sama sekali berbeda terjadi ketika lagu India menggema dari
rumah ke rumah di desa kami, baik lewat siaran radio maupun dari
kaset-kaset. Saya tak pernah mendapat hardikan dari emak ketika memutar
lagu India, meskipun ia juga tak pernah menunjukkan kesukaannya.
Bocah-bocah menirukan suara Kumar Sanu atau Alka Yagnik dengan
pengucapan lirik yang kacau balau, tapi mereka sama sekali tidak
tertawa—bagaimana bisa mereka tertawa, sementara yang mereka tirukan
adalah lagu ratapan macam ‘Jeeta Tha Jiske Liye’ (OST Dilwale, 1994)?
Sementara Pandes nyaris sendirian menyimak dan berkirim kartu atensi ke
acara rock kesukaannya, saya dan banyak teman sekampung mengalami
histeria massal berkirim kartu atensi ke acara-acara musik India di
radio.
Kami tak mengenal bahasa Hindi. Tapi kami tak mengalami
persoalan sama sekali dengan lirik asingnya itu. Sampai sekarang,
lagu-lagu yang paling kami cintai tetap tidak diketahui apa arti
judulnya, lebih-lebih isi liriknya. (Bahkan, orang yang memiliki
kebebalan bahasa macam saya, tetap tak bisa mengingat atau menyebutkan
judul lagu-lagu India yang saya putar setiap hari.) Kami hanya...
merasakannya. Tak perlu tahu apa maksud liriknya, suara musik yang
menderu-deru dan vokal Anuradha Paudwal yang mengiba di lagu ‘Jaane Jaa’
(OST Anari, 1992), misalnya, jelas menceritakan derita seorang gadis
yang dipisahkan dari kekasih yang dicintainya.
Itu dari segi
bahasa. Secara musikal, seperti yang telah saya singgung sebelumnya,
lagu India “mendarat mulus di sanubari” kami. Tentu saja kuping dangdut
kami—dan politik kebudayaan Orde Baru—berperan besar atas hal itu. Meski
baru belakangan saya tahu bahwa raksasa-raksasa musik Melayu macam OM
Sinar Kemala dan OM Awara, juga beberapa lagu awal Soneta, tapi terutama
lagu-lagu karya Mansyur S., meminjam secara besar-besaran musik (film)
India, kami tahu bahwa musik India sangat dekat dengan musik yang kami
dengar sehari-hari.
-----------------
*) Dikutip dari "MUSIK INDIA ADALAH MUSIK KAMI" - Oleh Mahfud Ikhwan
Ditulis untuk newsletter Folk Music Festival 2018, dan diharap jadi
tulisan pembuka untuk proyek 'Aku dan Film India Melawan Dunia III'